Rabu, 15 Februari 2012

Pandangan Bebas Nilai Dalam “Perjalanan” Cloning

Pandangan Bebas Nilai Dalam “Perjalanan” Cloning

Oleh : Y.B. Adyapaka Apatya (105114026)

Istilah cloning memang bukan sesuatu yang baru terdengar oleh telinga kita. Istilah cloning muncul pada dekade 1990-an. Bahkan kelompok keagamaan Railiens yang berkembang di daerah Kanada telah di mendirikan perusahaan cloneid, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang rekayasa genetika. Diawali oleh munculnya ke public hasil rekayasa genetika yaitu Domba Dolly pada tahun 1997.Hal ini menjadi tonggak kembalinya cloning merebah di dunia, sehingga para ilmuwan-ilmuwan berlomba-lomba untuk meng-clone. Bahkan yang diusahakan sebagai objek cloning adalah manusia. Para ilmuwan berkeinginan membuat generasi manusia yang sempurna.

Hal ini tentunya menimbulkan banyak sekali pro dan kontra. Banyak forum, debat, serta pendapat dari para ahli mengenai teknologi cloning. Para pemuka agama di dunia juga banyak menyoroti hal ini. Teknologi kloning memperlihatkan betapa kita sudah kehilangan rasa hormat kepada makhluk hidup,”ujar Paus Yohannes Paulus II dalam The Washington Post.

Tak hanya Vatikan yang ikut memberikan pendapatnya. Para pemuka agama-agama lainpun juga berpendapat akan hal yang sama. Keberhasilan kloning manusia akan mengakibatkan sendi kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur. Oleh karena manusia yang lahir melalui proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia adalah percampuran antara dua wanita atau lebih. Sehingga, tak diketahui siapa ibunya, dan akan sulit dilacak keberadaan bapaknya, ketika anak hasil pengkloningan itu membutuhkan salah satu dari figur ayah atau ibu, ataupun figur keduanya. Dan kalau itu berulang terus, maka bagaimana kita dapat membedakan seseorang dari yang lain, yang juga mengambil bentuk dan rupa yang sama ?” ujar Syaikh Muhammad Ali al-Juzu, seorang Mufti kelahiran Lebanon yang beraliran Islam Sunni. Para pemuka agama beranggapan kalau dengan adanya teknologi Kloning ini akan menggoyahkan posisi Agama dalam tatanan kehidupan social.

Orang-orang yang pro akan teknologi inipun juga tak mau kalah angkat bicara. Salah satunya adalah Sayyid Muhammad Hasan Al-Amin. “Kalau kita berandai kloning diterapkan pada manusia, maka menurut hemat saya ia merupakan suatu keberhasilan yang besar dan agung untuk kemaslahatan manusia. Pandangan agama secara umum dalam hal ini sejalan dengan pandangan agama terhadap semua keberhasilan ilmiah yang besar dan yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Kita harus membedakan sisi moral, sosial, dan kemanusiaan dengan pandangan agama menyangkut teori ilmiah tentang kloning.”ujarnya.

· Tinjauan Teori Bebas Nilai

Bebas nilai diartikan sebagai tuntutan bagi ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa memerhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan, karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan berdasar pada pertimbangan lain di luarnya. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa tuntutan bebas nilai bagi ilmu pengetahuan itu sendiri sebenarnya tidak mutlak. Tuntutan bebas nilai hanya berlaku bagi nilai lain di luar nilai yang menjadi taruhan utama ilmu pengetahuan. Artinya, ilmu pengetahuan tetap peduli terhadap nilai tertentu pada diri ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu nilai kebenaran dan nilai kejujuran.

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asas moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni, (1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan (Sumantri, 2001:234).

Dari perbedaan antara dua golongan ini, ada salah satu tawaran yang diberikan untuk menanggapi permasalahan ini. Tawaran yang diberikan adalah dengan membedakan context of discovery dan context of justification.

Context of discovery menyangkut konteks di mana ilmu pengetahuan ditemukan. Yang mau dikatakan di sini adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks sosial tertentu. Termasuk di dalamnya adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan muncul dan berkembang demi memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Jadi, ilmu pengetahuan tidak muncul mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Oleh karena itu, tidak bisa disangkal bahwa dalam melakukan kegiatan ilmiahnya, ilmuwan dimotivasi oleh keinginan, baik itu bersifat personal maupun kolektif, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar kebenaran ilmiah murni. Dengan kata lain, ada banyak faktor yang jauh lebih luas dari sekedar faktor murni ilmiah, yang ikut mendorong lahirnya ilmu pengetahuan. Tidak bisa disangkal pula bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang sekaligus sangat ikut memengaruhinya. Berkaitan dengan ini, sulit dibayangkan bahwa ilmu pengetahuan bebas dari nilai-nilai baik itu yang dianut oleh setiap ilmuwan secara individual maupun yang dianut oleh setiap lembaga dan masyarakat di mana ilmu pengetahuan itu dikembangkan.

Sedangkan yang dimaksud dengan context of justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah. Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu. Jadi, satu-satunya yang dipertimbangkan adalah bukti empiris dan penalaran logis – rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori. Dengan kata lain, satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran.

Dari sintesis yang diberikan di atas, kemudian dapat diambil kesimpulan atasnya. Bahwa context of discovery adalah tidak bebas nilai, sedangkan untuk context of justification adalah yang bebas nilai. Kalau boleh diartikan kembali mengenai bebas nilai, bahwa bebas nilai adalah otonomi pengetahuan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai di sekitarnya. Apapun itu pengetahuannya atau aapakah ada nilai dari luar yang mempengaruhi gagasan pengetahuan tersebut, yang penting adalah bahwa kebenaran akan data, fakta dan metode ilmiah untuk pengujian pengetahuan tersebut.

Tanggapan Kritis

Pengetahuan itu bersifat dinamis, artinya bahwa pengetahuan selalu berada dalam dimensi ruang dan waktu. Saat ini mungkin teknologi ini belum bisa diterima oleh khalayak umum, tapi siapa tau beberapa tahun yang akan datang. Kita tidak tahu apa yang kan terjadi nantinya. Oleh karena itu, teknologi rekayasa genetika terlebih cloning biarlah berkembang selama kebenaran tetap dijunjung.

Mengenai kaitan dengan nilai agama, walaupun pengetahuan mampu menciptakan individu-individu baru, walaupun begitu pengetahuan tidak dapat membuat sel-selnya, sel-sel yang digunakan untuk membentuk individu-individu baru. Singkatnya, penulis lebih menyukai istilah membentuk daripada membuat.

Yang perlu kita lakukan saat ini adalah mengawal bagaimana pengetahuan itu berjalan dalam koridornya. Biarlah pengetahuan mengembangkan dirinya secara otonom. Jika ditakutkan teknologi tersebut disalahgunakan, kita bisa membuat peraturan atau hukum untuk teknologi ini. Lagipula kalau terlalu meredam perkembangan ilmu pengetahuan, malah akan mematikan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Saat ini yang perlu diluruskan bersama adalah seberapa gunanya teknologi cloning bagai kesejahteraan manusia. Jika kita melihat dari sudut pandang context of justification tentu saja sudah, karena cloning bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun dari sudut pandang context of justification, sejauh mana nilai kegunaannya bagi manusia. Tentunya hal ini berkaitan juga dengan nilai etis. Bukankah percuma kita mengembangkan sesuatu yang dapat menimbulkan peluang merugikan manusia. Akan tetapi, jikalau teknologi ini memang benar-benar efektif bagi manusia, seperti untuk pengobatan dan lain-lainnya, kenapa tidak untuk dikembangkan. Tentunya kesadaran para subjek ilmu pengetahuan (ilmuwan-red) yang menjadi jawaban akhir untuk permasalahan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S. 1983. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua, 2001, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius.

Institut Theologia Aletheia. Maret 2004. Jutnal Theologia Aletheia.

http://en.wordpress.com/tag/filsafat-ilmu/

http://tb99.wordpress.com/

http://eprints.undip.ac.id/

http://gugling.com/teknologi/ Manusia Cloning Pertama Sekarang Berusia 5 Tahun.

http://deco-domsav.blogspot.com/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kloning

http://validator.w3.org/

1 komentar: